Sejarah Haji dan Umrah Serta Hikmahnya

Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam adalah melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah). Ibadah ini merupakan rukun kelima (5) dalam Islam dan dilakukan jauh sebelum diutusnya Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Beberapa abad sebelum kota Makkah sebagai pusat Islam dengan ditandai lahirnya Baginda Nabi, para nabi sebelumnya sudah melaksanakan haji di kota tersebut.

Ibadah haji hanya dapat dilaksanakan setahun sekali, tepatnya di bulan Dzulhijjah pada kalender Hijriyah, dan di Tanah Suci Makkah. Kini, setiap tahunnya, jutaan umat Islam dari seluruh dunia datang ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Lantas, kapankah turunnya perintah melaksanakan haji untuk pertama kali?

Daftar Isi :
  1. Sejarah Haji dan Umrah
  2. Ritual Sa’i
  3. Ka’bah sebagai Tempat Ibadah
  4. Zaman Baginda Nabi Muhammad ﷺ
  5. Perjanjian Hudaibiyyah               
  6. Hikmah Disyariatkannya Haji
  7. Umrah Pertama
  8. Pembebasan Makkah (Fathu Makkah)

Sejarah Haji dan Umrah

Perintah Haji dan ritus-ritusnya pertama kali ditahbiskan oleh Allah ﷻ pada masa Nabiyullah lbrahim Alaihissalam tepatnya ketika Ka’bah selesai dibangun. Sebagai ujian keimanan, Allah ﷻ telah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s, untuk meninggalkan istrinya, Siti Hajar dan putranya, yakni Nabi Ismail a.s di sebuah gurun yang tandus yang terletak di antara dua bukit Safa dan Marwah di Makkah dengan hanya sedikit perbekalan.

Ritual Sa’i

Setelah Nabi Ibrahim a.s meninggalkan mereka di gurun tersebut, perbekalan mereka pun segera habis dan Siti Hajar berlarian bolak-balik dari bukit ke bukit, tujuh kali mencari air untuk anaknya (Nabi Ismail a.s) yang sudah kelaparan. Ritual Sa’i, yang dilakukan oleh jamaah Haji dan Umrah sampai dengan hari ini, adalah reka ulang dari tindakan yang dilakukan oleh Siti Hajar selama pencariannya untuk air.

Sebuah mukjizat terjadi di mana mata air dari bumi, yang sekarang dikenal sebagai sumur air Zamzam, muncul dari tanah dan menyelamatkan mereka berdua. Nabi Ibrahim a.s akhirnya kembali dan membawa keluarganya dari padang pasir.

Ka’bah Sebagai Tempat Ibadah

Beberapa tahun kemudian, Nabi Ibrahim a.s dan putranya, Nabi Ismail a.s diperintahkan untuk membangun sebuah monumen yang didedikasikan untuk Allah ﷻ di dekat lokasi sumur air Zamzam. Monumen itu, yang kini kita kenal sebagai Ka’bah, adalah untuk dijadikan tempat ziarah untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Setelah mereka membangun Ka’bah, Allah ﷻ memerintahkan Nabi Ibrahim a.s untuk menyatakan ziarah ke lokasi tersebut – dengan kata lain, Haji – untuk semua umat manusia sehingga mereka dapat berkumpul di satu tempat untuk menunjukkan pengabdian mereka.

Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al-Hajj ayat 27,

وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧

wa adzdzin fin-nâsi bil-ḫajji ya’tûka rijâlaw wa ‘alâ kulli dlâmiriy ya’tîna ming kulli fajjin ‘amîq

Artinya: “Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra, bahwa setelah mendapat perintah itu, Nabi Ibrahim a.s berkata, “Wahai Tuhanku, suaraku tidak mampu memanggil hingga jauh.” “Serulah! Aku yang akan menyampaikan,” jawab Allah ﷻ. Benar saja, ketika Nabi Ibrahim a.s menyeru, semua makhluk yang ada di bumi dan langit mendengar seruannya. Imam Ath-Thabari melengkapi kisahnya dengan riwayat bahwa Malaikat Jibril menemui Nabi Ibrahim a.s pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), lalu menunjukkan ritual-ritual haji. Saat itulah ibadah haji pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim a.s.

Sementara itu, Ubaid bin Umair al-Laitsi berkata, “Riwayat yang sampai kepadaku mengatakan bahwa setelah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s meninggikan bangunan Ka’bah hingga selesai, turunlah perintah untuk melaksanakan haji. Nabi Ibrahim a.s kemudian menghadap ke Yaman dan menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah dan berhaji ke rumah-Nya. Kemudian terdengar jawaban, ‘Labbaik allahumma labbaik’. Lalu Nabi Ibrahim a.s menghadap ke barat untuk menyeru dan mendapatkan jawaban yang sama.”

Berabad-abad kemudian, seiring berjalannya waktu sepeninggal Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s, tata cara dan tujuan ibadah haji banyak diubah oleh bangsa Arab. Orang-orang Makkah mulai meninggalkan penyembahan satu Tuhan dan berubah menjadi penyembahan berhala dan politeisme/kemusyrikan, di mana periode tersebut dikenal sebagai Zaman Jahiliyyah (Zaman Kebodohan). Selama masa ini, Ka’bah dikelilingi oleh 360 berhala dan patung yang menggambarkan dewa manusia dan dewa hewan yang disembah secara terbuka yang beberapa diantaranya dikenal bernama seperti Al-Uzza, Al Latta, Manah, dan Hubal.

Zaman Baginda Nabi Muhammad ﷺ

Pada tahun 610 M, Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu pertamanya dari Allah ﷻ di mana ia diperintahkan untuk membangun kembali monoteisme/percaya kepada satu Tuhan. Dua puluh tahun setelah menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad ﷺ telah mengumpulkan massa yang cukup dari kalangan otoritas agama dan politik untuk mendapatkan kemenangan di Makkah, kota tempat ia dilahirkan dan di mana ia sebelumnya menderita banyak penganiayaan di tangan penduduknya. Dia menghancurkan berhala di dalam dan di sekitar Ka’bah dan mendedikasikan kembali untuk menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa.

Jabal Rahmah merupakan tempat dimana Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan khotbah perpisahannya. Pada tahun 632 M tahun ke 10 Hijriyah, sesaat sebelum wafatnya, Nabi Muhammad ﷺ memimpin Haji Wada’ (Haji Perpisahan) dan diikuti oleh ribuan pengikut. Beliau memberikan khotbah terakhirnya di Jabal Arafah, dimana beliau menekankan kesetaraan dan kesatuan umat Muslim, sebuah simbol sifat egaliter dari ibadah Haji. Ibadah Haji, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ pada waktu itu, berlanjut hingga hari ini.

Selama masa kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ, umat Muslim dilarang memasuki wilayah tanah suci Makkah sehingga tidak memiliki hak untuk menjalankan ibadah Haji dan Umrah. Pada saat itu, Makkah diduduki oleh bangsa Arab yang menyembah berhala dan tidak siap menerima kebenaran dan kecerahan Islam. Karena penolakan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ beserta pengikutnya meninggalkan Makkah menuju ke Madinah dan menjadikan Madinah rumah mereka yang kedua dimana mereka disambut dengan sepenuh hati.

Perjanjian Hudaibiyyah

Selama masa Perjanjian Hudaibiyyah berlangsung, Nabi Muhammad ﷺ memahami keinginan kuat dari umatnya untuk mengunjungi Makkah dan melakukan ibadah Umrah. Pada tahun 628 M, Nabi Muhammad ﷺ membuat keputusan untuk akhirnya pergi ke Makkah agar mereka/umatnya bisa melakukan ziarah. Beliau dan para pengikutnya dihentikan di Hudaibiyyah dan ditolak masuk oleh kaum Quraish (suku setempat). Bahkan setelah Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa mereka hanya ingin melakukan ziarah, kaum Quraish tidak mengizinkan mereka untuk lewat.

Nabi Muhammad ﷺ menolak untuk menggunakan kekerasan untuk memasuki Makkah sehingga negosiasi diplomatik dilakukan. Kesepakatan dibuat dan ditandatangani sehubungan dengan mengunjungi Makkah dan itu dikenal sebagai “Perjanjian Hudaibiyyah”. Perjanjian tersebut ditandatangani selama 10 tahun sebagai perjanjian untuk menjaga perdamaian antara para pihak. Umat Islam tidak diizinkan untuk melakukan Umrah pada tahun itu tetapi diminta untuk kembali tahun berikutnya untuk melakukan Umrah.

Hikmah Disyariatkannya Haji

Jamak diketahui, hikmah disyariatkannya semua ibadah tidak terlepas dari dua hal:

1) Sebagai pengakuan bahwa dirinya sebagai hamba.

2) Sebagai ungkapan syukur pada Allah ﷻ.

Ibadah haji mengandung dua hikmah ini sekaligus :

Pertama, ibadah haji adalah manifestasi penghambaan, serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya.

Kedua, ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah ﷻ. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Dan, ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridhai oleh Allah ﷻ.

Mengenai dalil diwajibkannya haji ialah dalam Al-Qur’an Allah ﷻ berfirman:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya, “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS Ali ‘Imran: 97).

Dalam sebuah hadist, Rasulullah ﷺ bersabda:

أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُم الحَجَّ فَحُجُّوا

Artinya, “Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah haji” (HR Muslim).

Hikmah disyariatkannya ibadah haji sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat jamaah, shalat jum’at, dan dua shalat hari raya, yaitu tampaknya atau terlihatnya persatuan umat Islam. Islam menginginkan adanya sebuah ibadah yang bisa menghilangkan sekat kaya, miskin, tampan, jelek, kulit putih, kulit hitam, atau lainnya. Di sisi Allah ﷻ, semuanya sama. Oleh karenanya, tentu adanya ibadah-ibadah yang telah disebutkan tidak lantas mempersatukan umat Islam secara mayoritas. Ibadah itu hanya bisa mempersatukan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Tentu tidak dengan ibadah haji. Ibadah yang satu ini mampu menampung semua umat Islam yang telah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk bersatu dalam satu baris dan satu tempat.

Ketika semua umat Islam dari berbagai tempat telah berkumpul di Makkah, maka akan tercipta darinya sebuah hubungan erat dan timbulnya kasih sayang antarsatu dengan yang lainnya. Dari Indonesia akan mengenal orang Arab, begitupun sebaliknya. Orang Turki akan mengenal orang India, pun sebaliknya. Orang barat akan mengenal orang timur, pun sebaliknya. Dengannya, akan sangat tampak bahwa mereka bagaikan saudara dari ayah dan ibu yang sama. Dengannya pula, akan tercipta sebuah hubungan yang diikat oleh agama Islam dan tidak akan bisa dipisahkan oleh perbedaan ras dan suku, budaya dan bangsa.

Ada juga hikmah penting yang perlu dipahami, yaitu hikmah diletakkannya ibadah haji di kota Makkah. Selain keagungan Ka’bah yang tidak ternilai keagungan dan kemuliaannya, Makkah sendiri sebagai tempat dilaksanakannya ibadah haji mempunyai beberapa keistimewaan, sebagaimana disampaikan. Di antaranya:

1) Kota Makkah merupakan tanah air Nabi Muhammad ﷺ, yaitu tempat dilahirkannya Baginda Rasulullah ﷺ;

2) Makkah merupakan kota suci sekaligus menjadi awal munculnya agama Islam. Dari sinilah cahaya kemuliaan Islam mulai menerangi berbagai penjuru bumi;

3) Dengan melakukan haji, seseorang akan mengingat perjuangan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam ketika membangun kiblat (ka’bah) —”mengingat” merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi umat Islam;

4) Makkah merupakan kota yang disucikan dan dijaga dari orang-orang yang beragama selain Islam.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, yaitu:

لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ

Artinya, “Tidak akan berkumpul dua agama di Jazirah Arab” (Syekh al-Jarjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, 1997, juz 1, h. 176).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya ibadah haji tidak hanya sebatas tentang ibadah biasa, lebih dari itu, adanya ibadah haji justru sebagai bukti akan persatuan dan kejayaan Islam, serta sebagai bukti kekompakan pemeluknya. Tidak hanya itu, ketika sudah ada di Baitullah, tidak ada perbedaan antarumat Islam, semuanya sama-sama sebagai hamba Allah ﷻ dengan tujuan yang sama pula. Mereka tidak dibedakan dengan berbagai identitas yang mereka miliki.

Baca Juga: Perbedaan Haji Reguler, Haji Plus, dan Haji Furoda?

Madinah, kota yang dahulu bernama Yastrib ini, memiliki riwayat sejarah yang panjang. Bahkan, keberadaannya konon sudah tercatat sejak zaman pascabanjir besar masa Nabi Nuh

Umrah Pertama

Ibadah Umrah pertama adalah ziarah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya setelah migrasi ke Madinah. Itu terjadi satu tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah pada tahun 628 M, yaitu pada pagi hari di hari keempat pada tahun 629 M. Ibadah Umrah pertama berlangsung selama tiga hari.

Pada tahun 7 Hijriyah, Nabi Muhammad ﷺ melaksanakan ibadah umrah ke Baitullah untuk pertama kali bersama dengan 2000 kaum muslimin. Di sana, Nabi beserta rombongan melakukan thawaf 7 putaran, melaksanakan shalat di maqam Ibrahim, minum air Zam-Zam, melakukan Sa’i dari Bukit Shafa ke Marwah, dan melakukan tahallul atau mencukur rambut.

Pembebasan Makkah (Fathu Makkah)

Pada tahun 630 M tepatnya pada 8 Hijriyah, umat Islam telah menjadi kekuatan yang tangguh dan Baginda Nabi Muhammad ﷺ memutuskan untuk menyerang Makkah bersama dengan umatnya dan tentu saja dengan kehendak Allah ﷻ.

Saat kedatangan umat Muslim di Makkah, para pemimpin Quraish menyadari bahwa mereka tidak mampu berperang melawan kaum Muslim sehingga mereka memilih untuk menyerah. Mereka takut tentang penaklukan mereka yang akan datang. Namun, Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang berbelas kasih dan sesuai dengan kepribadiannya ia mengampuni semua orang yang tidak lagi ingin berperang melawan kaum Muslim dan bahkan memaafkan musuh yang paling bersemangat dan membencinya sekalipun.

Kemenangan umat Islam ini dikenal sebagai “Fathu Makkah” atau “Pembebasan Mekah”, kaum muslimin berhasil menakhlukan kota Makkah dengan mengalahkan kaum kafir Quraisy. Mereka pun berhasil menghancurkan berhala yang terdapat di sekitar Ka’bah dan berhasil mengembalikan fungsi Ka’bah seperti semula dan sampai hari ini, peristiwa tersebut adalah contoh teladan untuk menyelesaikan konflik tanpa pertumpahan darah.

Pada tahun ke 9 Hijriyah, Rasulullah ﷺ mengangkat Abu Bakar As-Shidiq sebagai Amirul Hajj untuk menyertai kaum muslimin melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu Rasulullah ﷺ tidak ikut melaksanakan ibadah haji karena masih terikat dengan perjanjian Hudaibiyah yang melarang beliau untuk masuk ke kota Makkah.

Baru pada tahun 10 Hijriyah akhirnya Rasulullah ﷺ dapat melaksanakan ibadah haji. Beliau merasa bahwa misi dakwahnya telah sempurna, karena itulah beliau merencanakan untuk melaksanakan haji yang terakhir atau Haji Wada’ (haji perpisahan).

Muhammad Husain Haikal dalam kitabnya Hayat Muhammad menegaskan, pada tanggal 25 Dzulkaidah tahun kesepuluh  Hijriyah Nabi berangkat dengan membawa semua istrinya, masing-masing dalam kendaraannya.

Beliau berangkat dengan diikuti jumlah manusia yang begitu berlimpah, para penulis sejarah ada yang menyebutkan 90.000 orang dan ada pula yang menyebutkan 114.000 orang. Mereka berangkat dibawa oleh iman, jantung mereka yang penuh kemuliaan, penuh keikhlasan menuju ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji besar.

Ketika mereka tiba di Dzulhulaifah, Nabi mendirikan kemah (tenda) hingga lewat tengah malam dan pada pagi harinya Nabi menyuruh seluruh jamaah haji mengenakan pakaian ihram, dengan pakaian ihram inilah mereka menghadap Tuhan dengan derajat yang sama sambil bertalbiah yang diikuti oleh kaum muslimin di belakangnya.

Setelah memasuki kota Makkah, Nabi segera menuju ke Baitullah (Ka’bah) untuk melaksanakan tawaf tujuh (7) kali putaran, lalu Nabi berdoa dimaqam Ibrahim. Setelah itu Nabi keluar dari Masjidil Haram untuk melakukan sa’i (jalan setengah berlari) antara  bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh (7) kali. Setelah ibadah sa’i terlaksana, Nabi membebaskan seluruh jamaah haji dari hal-hal yang dilarang selama ibadah haji berlangsung.

Pada tanggal 8 Dzulhijah, Nabi meninggalkan kota Makkah menuji ke Mina dan beliau bermalam (mabit) di tempat tersebut. Setelah menunaikan shalat Subuh, Nabi menuju ke tanah Arafah dan di tempat ini kemudian beliau menyampaikan khotbahnya. Ada empat (4) pesan penting yang terkandung dalam khotbah tersebut.

Pertama, nasihat untuk senantiasa mengabdi kepada Allah SWT. Kedua, nasihat agar menghargai harkat martabat para perempuan (istri-istri). Ketiga, nasihat supaya umat Islam senantiasa menjaga ukhuwah islamiyah, dan yang Keempat, ialah menjadikan agama Islam sebagai agama yang resmi, hal ini diungkapkan oleh Nabi setelah menerima wahyu terakhir:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ…

“Pada hari ini  Aku sempurnakan agama-Ku untuk kamu sekalian dan telah aku sempurnakan pula nikmat-Ku untuk mu dan Aku rela Islam menjadi agamamu sekalian”. (Qs. Al-Maidah: 3).

Setelah Nabi Muhammad ﷺ membaca ayat tersebut yakni surat al-Maidah ayat 3,  Nabi meninggalkan Arafah pada sore hari dan menghabiskan waktu malamnya di Muzdalifah. Pada hari berikutnya Nabi menuju ke Masy’aril Haram lalu dilanjutkan ke Mina. Di sinilah Nabi menyembelih kurban 63 ekor unta masing-masing untuk 63 tahun usia Nabi, lalu nabi menggenapkan kurbannya menjadi 100 ekor unta.

Setelah itu Nabi Muhammad ﷺ memotong sebagian rambutnya yang menandai kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji.

Dalam menjalankan haji wada ini, nabi menjelaskan secara praktis bagaimana umat Islam menjalankan kewajiban dalam ibadah haji.

Baca Juga: Pengantar Haji dan Umrah

Akhirul kalam, setelah kita mengetahui sejarah dan semua manfaat serta hikmah luar biasa dari Ibadah Haji dan Ibadah Umrah tersebut. Sebagai kaum muslimin yang telah Allah ﷻ sempurnakan agamanya dan sebagai umat Islam yang Allah ﷻ telah rela sebagai agama untuk hambanya, semoga menjadikan kita mampu melaksanakan ibadah haji tersebut tidak hanya sebatas ingin menunaikannya semata hanya sebagai kewajiban belaka yang harus di laksanakan, namun lebih dari itu, yakni tetap tidak melupakan akan hikmah dan manfaat luar biasa yang terkandung di dalamnya, sehingga dengan demikian akan menimbulkan sebuah rasa khidmat yang penuh syukur dan timbulnya suatu kesadaran penuh, bahwasanya tiada daya upaya tanpa rahmat serta pertolongan dari-Nya, Allah Azza Wa Jalla.

Barakallahu Fikum.

Semoga bermanfaat, Wassalam.